Beranda | Artikel
Air Liur Anjing
Jumat, 6 November 2015

AIR LIUR ANJING

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Semua orang mengetahui hewan yang namanya anjing. Hewan ini biasa ditemukan disekitar masyarakat. Dewasa ini anjing sengaja dimiliki dan dibiarkan keluar masuk rumah, bahkan ada yang memberlakukannya lebih istimewa dari kucing. Interaksi hewan anjing ini dengan pemiliknya atau bejana-bejana yang ada di rumah sang pemilik pasti terjadi, lalu bagaimana syariat Islam menyikapi hal ini terkhusus permasalahan kenajisan anjing dan hukum-hukum seputar bejana-bejana yang dijilat hewan tersebut.

APAKAH SEMUA ANGGOTA BADAN ANJING NAJIS?
Para Ulama berbeda pendapat tentang kenajisan anjing dalam tiga pendapat, sebagaimana disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
“Adapun anjing, para Ulama terbagi atas tiga pendapat. Pertama; Bahwa anjing najis seluruhnya termasuk bulunya. Inilah pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah . Kedua; Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya. Inilah pendapat yang masyhur (terkenal) dari Imam Mâlik rahimahullah. Ketiga; Bahwa air liurnya najis, dan bulunya adalah suci. Inilah madzhab yang masyhur dari Imam Abu Hanîfah rahimahullah , dan inilah riwayat yang mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain dari Ahmad rahimahullah. Inilah pendapat yang lebih kuat.” [Majmû’ al Fatâwâ, 5/51]

Berikut Perincian Pendapat-Pendapat Tersebut:
Pertama: Anjing Itu Suci Semuanya Termasuk Air Liurnya.
Ini adalah riwayat yang masyhur dari Imam Mâlik rahimahullah (lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân karya al-Qurthubi 13/45) dan ini juga satu riwayat dalam madzhab Hanabilah. (lihat al-Inshâf 1/310).

Diantara argumen pendapat ini adalah:
1. Mereka berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allâh kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allâh atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allâh, Sesungguhnya Allâh amat cepat hisab-Nya.” [Al-Mâidah/5:4].

Hal ini karena hewan buruan itu mesti terkena liur anjing, sehingga adanya penegasan tentang kehalalan (binatang buruan yang berhasil ditangkap oleh anjing itu-red) menunjukkan sucinya air liur anjing (yang menangkapnya-red). Apalagi tidak ada perintah untuk mencuci bagian yang tersentuh mulut anjing pada hewan buruan tersebut. [Lihat ‘Aridhatul Ahwadzi, Ibnul Arabi 1/35]

2. Mereka mengatakan bahwa perintah membasuh tujuh kali untuk bejana yang diminum airnya atau dijilat oleh anjing adalah untuk ta’abbud (ibadah) dan tidak ada kaitannya dengan kenajisan liur anjing. Mereka berpendapat demikian dengan merujuk kepada hadits-hadits lain dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu dan seekor anjing memburu dan membunuh mangsanya pasti dengan melalui gigitan mulutnya. [Lihat Subulus Salâm, ash-Shan’ani 1/22]

3. Kalaupun masalah membasuh tujuh kali bukan termasuk ta’abbudi, ada kemungkinan anjing yang menjilat bejana tersebut terkena penyakit rabies sehingga ditakutkan racunnya berbahaya, oleh karena itu dicuci tujuh kali. Karena syariat juga menggunakan hitungan bilangan tujuh untuk pengobatan dan terapi dari penyakit seperti sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ تَصَبَّحَ سَبْعَ تَمَرَاتِ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرُّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سَمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

Siapa yang dipagi hari makan tujuh kurma ajwa’ maka racun dan sihir tidak akan membahayakannya pada hari tersebut. [Muttafaqun ‘alaihi].

Alasan-alasan ini dikritisi oleh sebagian Ulama, diantaranya:
Ibnu Daqqiqil ‘Ied rahimahullah berkata dalam Ihkâm al-Ahkâm 1/27 bahwa membawa kepada najisnya air liur anjing lebih pas; karena bila sifat satu hukum berkisar antara ta’abbudi (tidak dapat dicerna akal) dengan ma’qûl al-ma’na (dapat dicerna akal pengertiannya), maka membawanya kepada y ang dapat dicerna akal lebih pas. Karena perkara ta’abbud lebih langka dibandingkan dengan hukum-hukum yang dapat dicerna secara akal.

Ibnu Qudâmah rahimahullah dalam al-Mughni 1/42 berkata: Seandainya itu bersifat ta’abbudiyah tentu Beliau n tidak memerintahkan untuk dibuang airnya dan tentunya tidak ada pengkhususan mencuci bagian yang terkena jilatan karena keumuman lafazh pada bejana semuanya.

4. Perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.

كَانَتْ الْكِلَابُ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

Anjing-anjing keluar masuk masjid di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka tidak menyiram sedikitpun darinya. [HR. al-Bukhâri 1/51]

Dalam riwayat Ibrâhîm bin Ma’qil dalam Shahîh al-Bukhâri:

كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُوْلُ وَ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ

Anjing kencing dan keluar masuk.

Tambahan kata (تَبُوْلُ) hanya ada dalam naskah Ibnu Hajar rahimahullah dan beliau rahimahullah berkata, “Hadits Ahmad bin Syabib dari bapaknya bersambung dalam riwayat Abu Nu’aim dalam al-Mustakhrajnya dan al-Baihaqi dan selainnya (lihat Hâdi as-Sâri, hlm 24). Demikian juga al-Hâfizh rahimahullah menjelaskan dalam Taghlîq at-Ta’lîq 1/109, “Lafazh tambahan ini tidak ada dalam naskah-naskah ash-Shahih, namun disampaikan al-Ashili bahwa dalam riwayat Ibrâhîm bin Ma’qil an-Nasafi ada lafazh: (تَبُوْلُ وَ تُقْبِلُ وَتُدْبِرُ).

Pendapat ini menyatakan riwayat ini menunjukkan kesucian anjing, khususnya Ibnu Umar c yang menyandarkannya kepada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga zhahirnya menunjukkan kesucian bekas anjing; karena kebiasaan anjing adalah mengikuti bekas-bekas makanannya. Sebagian Shahabat dahulu tidak memiliki rumah dan tinggal di masjid, sehingga liur anjing akan menempel pada sebagian dari masjid. [Lihat Syarhu al-Bukhari, karya Ibnu Bathâl 3/268]

Hal ini memiliki kelemahan ; Karena madzhab Malikiyah sendiri sepakat dengan mayoritas Ulama tentang kenajisan kencing anjing. Sehingga zhahirnya hadits Ibnu Umar c bahwa anjing kencing di masjid dan tidak disiram kencingnya, mungkin itu terjadi diawal keadaan yang berdasar kepada asal kesucian, kemudian ada perintah untuk memuliakan masjid. Dengan demikian terjawab argumen tentang kesucian anjing ini.

Atau bisa dijawab dengan adanya sinar matahari khususnya di kota Madinah yang sangat panas yang mensucikan tempat sehingga ada dalil buat orang yang menyatakan bahwa najis suci dengan perubahan. Apabila hilang bekas kencing dan baunya sehingga tidak ada sisanya maka tempat tersebut sudah suci.

5. Sebagian Ulama yang berpendapat kesucian anjing berargumentasi dengan menganalogikan anjing dengan kucing, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kesucian bekas kucing dengan alasan kucing termasuk yang selalu berada disekitar manusia [ath-Thawâfun ‘alaihim].

Kedua: Seluruh Bagian Tubuh Anjing Sebagai Najis.
Ini adalah pendapat madzhab Syâfi’iyah dan mayoritas Ulama madzhab Hanâbilah. Dalam fiqh empat mazhab al Jaziri disebutkan tentang penetapan kalangan Syâfi’iyah bahwa seluruh badan anjing adalah najis. [Fiqh ‘ala Mazhâhibil Arba’ah, 1/18]

Pendapat ini pula yang dipegang oleh sebagian besar Ulama kalangan Hanabilah. [Lihat al-Fiqh al-Islâmi wa ‘Adilatuhu,1/305, Mughni al-Muhtâj, 1/78, Kasy-syâf al-Qanna` 1/ 208, Al-Mughni 1/52]

Diantara argumen pendapat ini adalah:
1. Hadits yang kita bahas yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Sucinya bejana salah seorang diantara kalian yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.” [Mutafaqqun ‘alaih].
Sisi pendalilannya:

a. Lafazh “thuhûru” (suci atau kesucian) itu tidak ada kecuali bersuci dari hadats atau najis. Dalam konteks bejana yang dijilat anjing, tidak mungkin ada hadats dalam bejana, jika tidak ada hadats berarti hanya ada bersuci dari najis.

b. Perintah mencuci bejana padahal yang terkena oleh air liur anjing adalah air; sebab seandainya yang terkena adalah bejana, tentu dikatakan:

إِذَا وَلَغَ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ

Apabila anjing menjilat bejana

Imam ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Perintah mencuci bejana adalah karena air liur anjing. Ini menunjukkan zhahir (isyarat nyata) bahwa mulut anjing adalah najis (karena tempat melekatnya air liur). Ketika dia menjilati seluruh badannya maka itu menjadi qiyâs (atas najisnya seluruh badannya).” [Subulus Salâm, 1/22]

c. Perintah membuang air menunjukkan air liur anjing itu najis.

d. Jika air liur anjing itu najis, padahal air liurnya adalah bagian termulianya, maka anggota tubuh yang lain selain air liur lebih pas untuk dihukumi najis.

2. Mereka mengatakan : Perintah dalam hadits untuk membasuh bejana ketika anjing menjilatnya menunjukkan bahwa najis yang timbul dari anjing adalah benar-benar najis berat. Jika tidak demikian, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup memerintahkan untuk membuang sisa air yang diminum anjing tersebut. Sehingga kalangan yang memegang pendapat ini menyatakan, najisnya anjing tidak mungkin hanya berasal dari mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya. Lagi pula anjing memiliki kebiasaan menjilat-jilat tubuhnya, sehingga tubuhnya terlumuri oleh liurnya yang najis.

Ketiga: Air Liur Anjing Yang Najis Dan Tubuhnya Tidak Najis.
Pendapat yang menghukumi bahwa yang najis dari anjing hanya air liurnya saja, sedangkan anggota tubuh lainnya suci. Ini adalah pendapat jumhûr (mayoritas) Ulama. [Lihat Fiqh ‘Ala Madzâhibil ‘Arba’ah, 1/18, Majmû’ al Fatâwâ, 5/51 dan lainnya]

Diantara argument pendapat ini adalah :
1. sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ.

Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.” [Mutafaqqun ‘alaih].

Hadits ini menunjukkan bejana menjadi najis dengan sebab air liur.

Hal ini sama dengan pendapat yang kedua dalam masalah najisnya air liur anjing.

2. Perintah mencucinya tujuh kali dalam riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan delapan kali dalam riwayat Ibnu al-Mughaffal Radhiyallahu anhu salah satunya dengan tanah merupakan dalil najisnya air liur anjing.

3. Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang jelas-jelas menunjukkan mencuci dari jilatan anjing karena najis. Hadits ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah dengan sanad yang shahih. Al-Hâfizh rahimahullah menyatakan, “Dengan sanad yang sahih dan tidak ada seorangpun dari Shahabat yang menyelisihinya.” [Fathul Bâri, 1/276].

4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Imam Muslim (فَلْيُرِقْهُ) , yang artinya, “Maka hendaklah dia menumpahkannya,” menguatkan pendapat yang menyatakan najisnya air liur anjing ini karena mencucinya disebabkan najis, karena membuangnya lebih umum dari bentuk air atau makanan. Seandainya suci tentulah tidak diperintahkan untuk membuangnya karena beresiko pembuangan harta. Kadang yang dibuang adalah air yang dibutuhkan untuk wudhu atau mandi.

5. Sedangkan kesucian bulu anjing, dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmû’ al-Fatâwâ 21/38-39 : Bulu anjing dan babi apabila terendam di air, maka itu tidak mengapa menurut pendapat râjih dari dua pendapat para Ulama. Karena ia suci menurut salah satu pendapat mereka dan itu adalah salah satu riwayat (dalam mazhab Hambali). Inilah pendapat yang râjih dalam dalil, sebab semua rambut, bulu dan wol suci baik ada dikulit hewan yang boleh dimakan dagingnya atau kulit hewan yang tidak dimakan dagingnya. Baik dalam keadaan hidup atau telah mati. Inilah pendapat yang râjih dari pendapat para Ulama dan ini juga salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal rahimahullah .

Pendapat Yang Râjih,
Ibnu Taimiyah rahimahullah merâjihkan pendapat ketiga ini dengan menyatakan: Ini adalah pendapat yang râjih [Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 21/39 dan 21/530].

Hukum Air Yang Terkena Liur Anjing
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum air yang terkena liur anjing dalam beberapa pendapat:

Pertama: Airnya najis, oleh karena itu ada perintah membuangnya.
Inilah pendapat madzhab Hanafiyah, Syâfi’iyah dan Hanabilah serta riwayat dari imam Mâlik rahimahullah . Imam an-Nawawi rahimahullah menisbatkannya kepada mayoritas Ulama, dalam pernyataan beliau, “Hadits ini berisi najisnya semua yang dijilat anjing. Kalau berupa makanan cair maka haram memakannya; karena (ada perintah untuk membuangnya, padahal-red) membuangnya adalah menyia-nyiakannya. Seandainya hal itu suci tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk membuangnya, ditambah lagi dengan adanya larangan membuang-buang harta. Inilah madzhab kami dan madzhab mayoritas Ulama bahwa najis semua yang terkena liur anjing tanpa membedakan antara anjing yang diizinkan kepemilikannya dan sealiannya, baik anjing pedalaman atau perkampungan karena keumuman lafazhnya. [Syarh Shahîh Muslim, 3/184].

Kedua: Airnya tetap suci, karena perintah mencuci dengan bilangan tujuh dan menggunakan tanah adalah bersifat ta’abbud atau perintah itu difahami dan dilakukan dalam keadaan khusus yaitu ketika anjingnya yang menjilat itu kena penyakit rabies. Ini adalah salah satu riwayat dari imam Mâlik rahimahullah dan ini didasarkan pada pendapat beliau tentang kesucian anjing.

Ketiga: Membedakan antara anjing yang diizinkan kepemilikannya dengan yang tidak. bila diizinkan kepemilikannya maka suci dan bila tidak maka najis.

Keempat: Membedakan antara anjing pedalaman dengan perkotaan.
Ini dinukilkan dari imam Abdul Mâlik Ibnu Mâjisyun al-Mâliki rahimahullah. Pendapat ini jelas lemahnya.

Kelima: Air yang dijilat itu tidak najis kecuali bila berubah salah satu sifatnya akibat jilatan itu.
Pendapat ini cukup kuat karena masuk ke pembahasan masalah ini dengan kaidah umum bahwa air apabila berubah salah satu sifatnya karena tercampur najis maka menjadi najis, baik jumlahnya banyak atau sedikit. Artinya, jika tidak terjadi perubahan sifat dan tidak tampak pengaruh najisnya maka airnya tetap suci.

Adapun hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah. [Mutafaqqun ‘alaih].

Maka bejana yang dijilati anjing umumnya kecil dan sangat memungkinkan tampak pengaruh najisnya. Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmû’ al-Fatâwâ (21/531): Susu apabila dijilati anjing dan jumlahnya banyak, maka tidak najis.
Wallahu a’lam.

Hukum Membuang Air Yang Dijilat Anjing
Para Ulama berbeda pendapat tentang kesucian air yang terkena jilatan anjing sebagaiman diatas. Juga berbeda pendapat dalam hukum membuang air yang terkena jilatan anjing, apakah wajib membuangnya karena najis atau tidak wajib kecuali bila ingin menggunakan bejana tersebut?

Pertama: Tidak wajib membuang airnya, tapi hanya sunnah saja hukumnya. Apabila ingin menggunakan bejana tersebut maka airnya dibuang, karena air liurnya najis seperti najis-najis lainnya. Apabila tidak ingin menggunakannya dan membiarkannya maka tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas Ulama dan dinisbatkan imam an-Nawawi t kepada mayoritas Ulama syâfi’iyah [Syarah Shahîh Muslim, 3/185].

Kedua: Wajib membuang air yang dijilat anjing tersebut dengan segera walaupun tidak ingin menggunakan bejana itu karena airnya najis juga karena adanya perintah membuangnya. Inilah madzhab Zhahiriyah (al-Muhalla, 1/142) dan sebagian Ulama Syâfi’iyah (lihat al-Majmû’ 2/588 dan Fathul Bâri 1/ 275) dan selain mereka.

Jumlah Pencucian
Para Ulama berbeda pendapat tentang jumlah cucian bejana yang terkena jilatan anjing dalam dua pendapat:

Pertama: wajib dicuci tujuh kali. Inilah pendapat mayoritas Ulama diantaranya pendapat yang masyhur dalam madzhab Mâlikiyah, pendapat Imam as-Syâfii, Ahmad dan madzhab Zhâhiriyah.

Mereka mengambil makna tekstual dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas, dimana ada perintah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencuci tujuh kali dan perintah menunjukka kewajiban tanpa adanya indikator kuat mengalihkan dari penunjukkan kewajiban tersebut.

Kedua: tidak membedakan antara mencuci dari najis liur anjing dengan najis-najis lainnya yang tidak disyaratkan dalam menghilangkannya bilangan tertentu. Inilah pendapat imam Abu Hanîfah (lihat Syarah Ma’ânil Atsar ath-Thahâwi 1/22) dengan membawa perintah dalam hadits kepada hukum sunnah saja. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa alasan:

a. Fatwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Imam ath-Thahawi dalam Syarh Ma’âni al-Atsâr 1/23 dan ad-Daraquthni dalam Sunannya 1/66 dari jalan Abdulmalik bin Abi Sulaiman dari ‘Atha dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang bejana yang dijilati anjing atau kucing, beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Dicuci tiga kali.” Imam ad-Daraquthni berkata, “(Pernyatan Abu Hurairah) Ini mauqûf yang tidak diriwayatkan selain Abdulmalik dari Athâ dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa apabila anjing menjilat bejana, maka beliau buang airnya dan mencucinya tiga kali.

Al-Baihaqi berkata, “Fatwa ini tidak diriwayatkan kecuali dari Abdulmalik. Abdulmalik ini tidak diterima semua riwayatnya yang menyelisihi para tsiqât. Lalu berkata: Yang benar adalah hadits Abu Hurairah karena jalan periwayatannya shahih dan sanadnya kuat. [Lihat al-Ma’rifah 2/311-312 dan as-Sunan al-Kubra 1/242].

b. Mereka menganalogikan dengan kencing dan kotoran manusia yang –menurut mereka- lebih berat dan tidak ada perintah wajib dengan bilangan tertentu mencucinya.

c. Juga berdalil dengan hadits Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu yang mencuci delapan kali.

Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama yang mewajibkan mencucinya tujuh kali, karena keabsahan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan yang lainnya. Seandainya dianggap benar mendahulukan fatwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu daripada riwayatnya, lalu bagaimana dengan riwayat lainnya seperti riwayat Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيْ الإِنَاءِ فَاغْسِلُوْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَعَفِّرُوْهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ

Apabila Anjing menjilati bejana maka cucilah bejana tersebut tujuh kali dan taburilah yang kedelapan dengan debu. [HR. Muslim no. 93]

Lalu ada masalah yang terfahami dari hadits Abdullah bin Mughaffal bahwa mencucinya delapan kali, karena terdapat lafazh, yang artinya, “Dan taburilah yang kedelapan dengan debu.” sehingga ini menjadi dasar wajibnya mencuci delapan kali.

Ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, “Dengan dasar hadits ini al-Hasan al-Bashri berfatwa mencuci bejana tujuh kali dan kedelapannya dengan menggunakan debu (tanah). Saya tidak mengetahui ada yang berfatwa demikian selain beliau. [at-Tamhîd 18/266].”

Nampaknya, yang dimaksudkan oleh Ibnu Abdilbarr rahimahullah dengan perkataannya, “Saya tidak mengetahui ada yang berfatwa demikian selain beliau,” dari kalangan Ulama-ulama terdahulu. Padahal ini juga pendapat yang diriwayatkan dari imam Ahmad, seperti dalam al-Mughni 1/73 dan dari Imam Mâlik seperti dijelaskna dalam kitab at-Talkhîsh 1/36

Diantara Ulama ada yang merajihkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan cuciannya hanya 7 kali. Mereka menjawab hadits Ibnu Mughaffal Radhiyallahu anh dengan beberapa jawaban:

a. Cucian dijadikan delapan, karena tanah (debu) satu jenis bukan termasuk air, sehingga menjadikan bersatunya air dengan tanah dalam satu cucian dihitung dua. Sekan-akan tanah menduduki posisi satu cucian sehingga disebut kedelapan.

b. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu orang yang paling hafal hadits dizamannya, sehingga riwayatnya lebih didahulukan.

Diantara Ulama ada yang merajihkan hadits Ibnu Mughaffal Radhiyallahu anhu ; karena beliau menambah cucian kedelapan. Tambahan ini diterima khususnya dari beliau. Hal ini tidak mengapa karena mengamalkan pengertian yang terfahami dari nash dan berisi pengertian kehati-hatian.

Yang rajih adalah pendapat pertama yang mewajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali. Wallahu a’lam.

Urutan Pencucian Dengan Tanah (Debu)
Bila melihat beberapa riwayat hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang menjelaskan posisi pencucian dengan tanah, didapatkan ada riwayat : «أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ» , ada juga : أُوْلاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ serta ada juga dengan lafazh: «إِحْدَاهُنَّ». Sedangkan dalam riwayat ath-Thahawi (Syarah Musykil al-Atsâr 1/21) dengan lafazh: أُوْلاَهَا أَوِ السَّابِعَةُ بِالتُّرَابِ . ini semua tidak masalah dan tidak mengharuskan untuk menghilangkan pensyariatan penggunaan tanah hanya karena adanya perbedaan ini, sebagaimana pendapat madzhab Hanafiyah dan Mâlikiyah (lihat Syarhu al-‘Umdah karya Ibnul Mulaqqin 1/308 dan Tharhu at-Tatsrîb 2/129-130). Hal ini karena masih bisa dirajihkan dengan merajihkan lafazh أُوْلاَهُنَّ (yang pertama); karena ia adalah riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari jalan periwayatan Muhammad bin Sirin rahimahullah. Riwayat Ibnu Sirin rahimahullah ini dibawakan oleh tiga perawi yaitu Hisyâm bin Hisân rahimahullah, Habîb bin asy-Syahîd rahimahullah dan Ayub as-Sakhtiyâni rahimahullah. Imam Muslim mengeluarkan riwayat ini dari riwayat Hisyâm. Riwayat ini râjih dengan tiga hal:

a. Banyak perawinya
b. Salah seorang dari syaikhain (al-Bukhâri dan Muslim) mengeluarkannya.
c. Dari sisi pengertiannya; karena pencucian dengan tanah lebih pas kalau pertama, sebab dibutuhkan setelah pencucian dengan air yang menghilangkan sisa tanah tersebut. Beda kalau dijadikan yang ketujuh maka ia membutuhkan pencucian lagi setelahnya.

Adapun riwayat at-tirmidzi yang berbunyi :

أُوْلاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ

Yang pertama atau paling akhir …

Apabila ini berasal dari pernyataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini menunjukkan adanya pilihan antara keduanya. Apabila itu bentuk keraguan dari sebagian perawi maka terjadilah satu hal yang kontradiktif, sehingga kembali kepada tarjîh dan yang râjih adalah yang pertama sebagaimana di atas.

Sedangkan riwayat (إِحْدَاهُنَّ) hal ini tidak ada dalam kutubussittah, adanya pada sunan ad-Daraquthni dan al-Bazâr (lihat al-Badru al-Munîr 2/330). Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat sebelumnya karena ia tidak ada penentuan, debu bisa pada urutan pertama atau urutan lainnya. Kemudian riwayat ini terfahami dengan jelas dengan melihat riwayat lain dengan lafazh (أُوْلاَهُنَّ).

Demikian juga dengan hadits وَعَفِّرُوْهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ maka kedelapan ini ditinjau pada tambahan atas tujuh kali cucian memakai air bukan sebagai yang terakhir. Dengan demikian inipun tidak menyelisihi riwayat-riwayat diatas.

Kewajiban Menggunakan Tanah Dalam Mensucikan Bejana Terkena Jilatan Anjing
Para Ulama berbeda pendapat tentang kewajiban menggunakan tanah pada salah satu dari tujuh cucian tersebut :

1. Pertama: Wajib menggunakan tanah.
Inilah pendapat madzhab Syâfi’iyah (al-Umm 1/6) dan Hanâbilah (al-Muharrar, 1 /4).
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Shahîh Muslim 1/185 : Madzhab kami dan madzhab mayoritas Ulama bahwa yang dimaksud dengan cucilah tujuh kali dan salah satunya adalah dengan tanah dicampur air.

2. Kedua: Tidak wajib menggunakan tanah.
Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah dan Hanafiyah. Hanafiyah memahami perintah mencuci tujuh kali dan dengan tanah sebagai sunnah tidak wajib. (lihat Syarh Ma’âni al-Atsar 1/22-24). Sedangkan Mâlikiyah memandang kewajiban tujuh kali namun tidak mewajibkan menggunakan tanah dalam salah satu cuciannya.

Pendapat yang rajih pendapat mayoritas Ulama. wallahu a’lam.

Demikian beberapa masalah fikih seputar hadits ini, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4227-air-liur-anjing.html